sdit

sdit

Senin, 23 Agustus 2010

Membeli Rasa Rindu

MEMBELI RASA RINDU
oleh: Muh Fauzil Adhim

Ada seorang lelaki datang pagi itu di bulan Ramadhan. Ia butuh teman yang mau mendengar suara hatinya, butuh kawan untuk berbagi perasaan tentang kesedihan hatinya yang sangat mendalam. Ada tangis tertahan, luka hati yang susah mengering, dan duka yang tak habis-habis ia kikis. Ia menangis bukan karena hilangnya harta. Ia menangis karena tak punya rasa rindu pada bapaknya. Ingin benar rasanya mengumpulkan seluruh perasaan yang ada agar hatinya dipenuhi kerinduan untuk bertemu dan berbuat baik pada bapaknya. Ingin rasanya seperti manusia-manusia lain; datang memeluk bapaknya setelah lama tak bertemu, memapah bapaknya yang sudah tak kuat berjalan dengan penuh rasa takzim demi meraih kunci surga karena baktinya. Tetapi perasaan itu telah mati, hampir tak ada lagi. Kalau saja rasa rindu itu bisa dibeli, ia ingin membelinya.

Sahabat kita ini tidak sendirian. Banyak orang-orang yang mengalami keperihan serupa. Diantara mereka ada yang merasakan pahitnya menahan rindu di saat kakinya belum kuat untuk berjalan, tetapi ia tidak mendapatkannya. Ada yang harus melakukan kenakalan yang memalukan demi merebut sepotong perhatian dari orangtua, tetapi tidak ada yang mereka dapatkan kecuali luka hati yang kian menyakitkan. Di saat keinginan untuk dekat itu sudah mati, dunia berubah. Bapaknya yang dulu sangat gagah, sekarang sudah tua renta. Bapaknya yang dulu bertabur kemakmuran, sekarang sudah perlu disantuni. Bapaknya yang dulu tak punya ruang sedikit pun untuk mengobati rasa rindunya, sekarang hari-harinya dipenuhi dengan keinginan untuk meraih sepotong perhatian darinya. Tetapi, seperti kata Nabi, "Barang siapa tidak menyayangi, dia tidak akan disayangi. " Man la yarham, la yurham (HR Muslim)

Pesan Nabi Saw ini mengingatkan saya pada peristiwa yang disebut dalam hadis shahih Bukhari, saat Rasulullah Saw mencium cucunya. Seorang pembesar bernama Aqra bin Habis at-Tamimi melihatnya, lalu berkata, "Aku punya sepuluh orang anak, tetapi tidak satupun dari mereka yang pernah kucium." Rasulullah Saw pun menjawab dengan ungkapan yang fasih, "Apa dayaku bila Allah telah mencabut kasih sayang dari hatimu!" Kalau di masa kecil anak-anak kita tidak pernah merasakan kasih sayang bapaknya, maka bukan salah ibunya kalau mereka TAK MEMILIKI RASA RINDU saat kita tua. Ibarat tanaman, perasaan ingin membahagiakan orangtua itu tak pernah terpupuk, sehingga sulit mengakar dalam hati.

Saya pernah bertemu dengan seorang ayah. Wajahnya tampak renta, menunjukkan usianya yang sudah sangat tua. Berjalan pun hampir tak bisa. Seorang anaknya, kebetulan, memiliki kekayaan yang berlimpah. Banyak negara yang telah dijelajahi untuk berwisata. Ke negeri tetangga, bisa dilakukan kapan saja. Yang tidak bisa CUMA SATU: MENGUNJUNGI AYAHNYA. Datang menengok ayahnya yang tua renta, seolah barang mewah yang lebih sulit dijangkau daripada negeri-negeri yang jauh. Di masa lalu, ayahnya hampir tidak pernah memberi perhatian, meski cuma berupa panggilan sayang. Ayahnya banyak berkecimpung dalam usaha-usaha agama. Tetapi bukan itu yang menyebabkan ia tak sempat mengusap anaknya. Anak-anak yang lain ia sekolahkan dengan baik. Seorang anaknya belajar di sebuah pesantren besar denqan dukungan fasilitas dari orang-tua yang lebih dari cukup. Anak-anak yang lainnya pun demikian, memperoleh pendidikan dan perhatian yang baik darinya. Tetapi anak yang satu ini, ia lupa. Ia lalai memperhatikannya, Agaknya, ada yang tidak sesuai dengan harapannya ketika anak itu lahir, sehingga semenjak kecil sudah 'disisihkan'. Kadang yang membuat anak 'tersisih' atau bahkan sengaja 'disisihkan' oleh orangtua adalah karena ia tidak secerdas saudara-saudaranya yang lain. Orangtua lebih memperhatikan anak yang cemerlang karena dianggap punya masa depan. Padahal banyak sarana yang hanya menjadi beban. Sementara tidak sedikit orang-orang yang secara formal pendidikannya lebih rendah, justru sangat mandiri dan memberi 'cahaya' pada umat.

Ada cerita lain yang sangat menyedihkan. Seorang remaja menelfon orangtuanya dan berkata, "Fuck you, moml" karena marah kepada orangtuanya. Ia hanya diberi uang, handphone, credit card dan fasilitas hiburan yang berlimpah di rumah, tanpa kasih sayang dan perhatiar', Tak ada yang bisa mendengarkan cerita-ceritanya. Ketika ia sedang gembira atau saat dirundung kesedihan luar biasa, satu-satunya yang mau mendengarkan hanya pembantu. Entah karena tulus atau karena takut. Bagi anak ini, nasihat tentang surga di bawah telapak kaki ibu menjadi BERITA YANG MENYAKITKAN TELINGA.
Sebab, kasih sayang seorang ibu adalah impian yang sangat sulit ia raih. Padahal ibunya tidak memiliki tanggung jawab khusus yang mengharuskannya banyak keluar rumah. Ibunya bukan seorang pejabat. Bukan pula da'iyah yang harus memberi penyadaran pada umat. Tetapi ia lebih sering di luar rumah daripada menemani anaknya belajar. Sedang bapaknya, lebih banyak di luar rumah. Bukan karena berjuang demi keluarga -apalagi agama-. Tetapi hanya sibuk menumpuk rupiah. Karenanya tak ada yang bisa dibanggakan oleh anak dari ibu maupun bapaknya.

Di tempat lain, ada ibu-ibu berpendidikan S-3 tetapi memberikan pendidikan kepada anaknya dengan kualitas SD. Ilmu yang didapatkannya dengan susah payah dari perguruan tinggi tidak digunakan untuk mendidik anaknya. Ia memilih untuk menerapkannya di luar dengan alasan agar tak sia-sia. Bukankah sebaik-baik ilmu adalah ilmu yang bermanfaat?, dalihnya
(saya jadi ingin bertanya, "Lalu untuk siapakah engkau menuntut ilmu itu?"). Walhasil, pendidikan anak cukup ditangani oleh pembantu saja. Bersyukur kalau pembantu memiliki tanggung jawab ukhrawi yang besar. Kalau ia hanya mencari keping-keping rupiah saja? Diam-diam saya jadi miris membayangkan anak-anak itu sesudah dewasa. Jika anak-anak tumbuh tanpa rasa hormat pada orangtua, apakah yang bisa menjamin kita agar mereka tidak durhaka pada bapak ibunya? Beruntung kalau anak-anak itu hatinya mendapat celupan agama. Sekalipun tak sanggup untuk membangkitkan rasa rindu dan hormat kepada orangtua, ia masih bisa MEMAKSAKAN DIRI untuk menyantuni mereka demi meraih ridho Allah. Tapi kalau iman mereka kosong? Saya tak dapat membayangkan. Tampaknya ada yang perlu dibenahi. Tentang niat kita mendidik anak. Tentang tujuan kita menyekolahkan mereka. Tentang arah hidup kita sendiri, juga tentang apa yang akan kita pertanggungjawabkan kelak di yaumil akhir.

Kiriman : Bintang Wisnuwardhani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar